}

Selasa, 05 Maret 2013

sex education


sex education....

Pernah mendengar istilah itu?
Pertama kali denger waktu SMP. Kakak saya mempelajari ilmu kedokteran dan lumayan sering memberikan sex education pada saya. Meski tidak secara formal, namun itu sangat bisa membantu untuk tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak benar.
Sex education sangat penting diberikan sejak dini. Namun pastinya ada tahapan-tahapan dan proses khusus, serta harus ada batasan-batasan yang tepat agar status pendidikan tetaplah menjadi pendidikan, bukan malah menjadi penyimpangan.
Banyaknya angka perkosaan, pelecehan seksual, ataupun yang dilandasi suka sama suka membuktikan bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari hal-hal berkaitan dengan hasrat seksual. Seperti dalam Maslow’s hierarchy of needs Theory, yang kita tau bahwa hierarki adalah tingkatan kebutuhan manusia, dan jujur saya cukup terkejut saat pertama kali diperkenalkan teori yang divisualkan dengan piramida bertingkat itu.
Dalam piramid digambarkan bahwa kebutuhan dasar manusia (basic needs/kebutuhan fisiologi), selain oksigen, food, water, juga terdapat kebutuhan akan sex.
Coba bayangkan, kebutuhan tersebut disetarakan dengan kebutuhan kita akan makanan, minuman, juga oksigen di udara. Yang artinya jika tidak terpenuhi akan berdampak negatif pada tubuh kita. Awalnya, saya berpikir bahwa teori ini kurang tepat, karena tidak bisa digunakan oleh semua kalangan. Anak kecil yang belum mengerti apa-apa tentunya tidak tahu menahu masalah sex, kan? Atau bahkan teori itu bisa menjadi pemicu para remaja berlogika bahwa memang benar kebutuhan sex itu adalah wajar, dan memang harus didapatkan. #itu kan kacau jadinya.
Saya sering memandang sinis teori itu sebelumnya, tapi, ternyata… sekarang saya baru paham, maksud dari, ‘kebutuhan seks’ itu tidak melulu soal hubungan intercrosssaja. Karena ternyata sejak bayi pun, kita sebenarnya telah merasakan kebutuhan itu. Mengingat lagi pelajaran psikologi anak dan jurnal yang pernah saya baca tentang fase-fase perkembangan psikoseksual pada bayi.
Dan inilah sekilas teori perkembangan psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Teori ini adalah salah satu teori yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya bahwa kepribadian yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak dimuali dari mencari kesenangan atau kenikmatan dari id mereka.
Apa itu Id?  Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir dan itu bersifat naluriah. Pada bayi, hal itu diwujudkan dalam pencarian fokus pada area sensitive seksual tertentu, dan hal itu menjadi kekuatan pendorong di balik perilaku mereka.
Inilah kelima tahapan psikoseksual pada anak.
1. Fase Oral
Dalam fase oral ini, biasanya bayi sering memasukan apapun ke dalam mulut, kita sering kan liat bayi kalau dikasih pensil, kertas, penghapus, ataupun benda lainnya, biasanya mereka langsung refleks memasukan benda-benda itu ke dalam mulut. Karena area fokus kesenangan mereka memang terletak pada mulut.
Pada fase ini juga proses penyapihan harus berjalan dengan baik. Jangan biarkan anak lebih dekat dengan pengasuhnya dibandingkan dengan ibu. Karena melalui stimulasi oral itulah yang nantinya akan mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan di masa depan. Jadi, selama fase oral ini… lebih baik diasuh sama ibu kandung dibanding sama yang lainnya. Agar lebih terkontrol. Karena jika terjadi fiksasi oral, nantinya si bayi di masa depan akan mengalami masalah-masalah ringan hingga berat, seperti kebiasaan menggigit-gigit kuku, dan yang kelas berat seperti kecanduan merokok, minum-minuman beralkohol, dll.
2. Fase Anal
Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido anak adalah pada pengendalian kandung kemih (buang air kecil) dan buang air besar. Tugas utamaorang tua pada tahap ini adalah toilet training.
Toilet training tentu tidak serupa dengan training-training freshgraduate yang baru masuk kerja. Toilet training ini sangat sederhan namun perlu detail yang harus diperhatikan, karena menyangkut penerapan disiplin dan kebiasaan pada anak dalam aktivitasnya membuang zat-zat sisa kecil maupun besar. Sehingga si anak tidak menyalahgunakan sesuatu yang bukan mainan.
Karena biasanya kalau anak tidak dibimbing dalam beraktivitas di toilet dalam fase ini pasti mereka bereksperimen yang macam-macam. Karena memang pada tahap ini fokus kesenangan mereka adalah pada anal.
Agar mudah mengajari anak, terus berikan pujian pada saat pendekatan toilet training,dan kalau salah dalam praktek, jangan dimarahi. Pujian dan motivasi dapat mengembangkan rasa berprestasi, produktif dan kemandirian pada anak. Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif. Sedangkan jika orang tua terlalu keras mendidik pada fase ini, dengan larangan-larangan dan bentakan, di masa depan anak akan bersifat ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic
Pada tahap phallic, fokus utama dari libido anak adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan mereka untuk mendapatkan kasih sayang ibu, hal ini disebut oedipus kompleks. Lucu ya… Anak laki-laki bisa cemburu pada ayahnya sendiri ketika ibunya lebih dekat dengan ayahnya. Begitu pula sebaliknya, anak perempuan cemburu pada ibu ketika ayah lebih dekat dengan ibunya. Hal itu disebut electra kompleks. Ini bukanlah merupakan sebuah kelainan, namun menurut Freud, ini memang terjadi pada setiap anak.
*hmm… saya dulu cemburu gak yah sama ibu?*. Lupa. -___-
*Yasudah abaikan*
Lanjut lagi…
Pada fase ini anak sudah bisa membedakan mana laki-laki, mana perempuan dan telah sedikit mengenal ciri-cirinya. Mungkin ini yang menyebabkan para anak masing-masing menyukai orang tua mereka yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya. Di sini orang tua sudah mulai menerima pertanyaan-pertanyaan aneh bin ajaib dari anak… misalnya, “Kok ayah begitu… Kok, ibu begini… kok aku gak sama dengan dia…” Pokoknya mereka mulai kritis dengan perbedaan bentuk antara wanita dan pria. Dan sebagai orang tua harus bisa menjelaskan dengan bijak, karena jika pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya diacuhkan, ditertawakan, dikhawatirkan anak akan mencari tahu sendiri (kalau cari taunya di tempat yang bener ya ga masalah, lha kalau gak?) dan juga peng’kacanggaringan’ anak pada fase ini bisa menimbulkan anak mudah cemas.
4. Fase Latent
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri. Freud menggambarkan fase laten sebagai fase yang relatif stabil. Maksudnya, di sini anak sudah tidak terfokus pada ‘benda-benda unik’ dalam dirinya lagi, tetapi lebih fokus terhadap kehidupan sosial dan intelektualnya. Oleh sebab itu, fase ini sebenarnya di luar dari konteks psikoseksual dan perlu kajian tersendiri untuk membahasnya.
5. Fase Genital
Nah, ini dia yang paling seru… Sekaligus fase rentan paling berbahaya… XDD
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, anak sudah dapat merasakan ketertarikan antar lawan jenis. Kalau di fase phallic yang sebelumnya di bahas kan anak hanya penasaran dengan perbedaan-perbedaan ciri. Di fase ini, anak bukan hanya sudah tahu perbedaannya, tapi juga sudah menunjukan minat atau ketertarikan.
Di sinilah anak sudah dapat menerima pendidikan seks dasar. Tentang organ-organ, kesehatan reproduksi, dan pencegahan terjadinya penyakit-penyakit seksual. Namun pada tahap awal, jangan dulu dijejali gambar-gambar peraga yang terlalu ‘vulgar’. Biarkan mereka memahami teorinya terlebih dahulu. Apa yang baik untuk kesehatan, dan apa yang seharusnya dihindari. Jika anak sudah mengerti, dan sudah cukup dewasa untuk menerima, baru boleh ditayangkan. Itu pun tentunya harus dengan batasan-batasan tertentu alias sewajarnya.
Karena mulai dari fase genital dan seterusnya, anak akan selalu mencari tau dan bereksperimen adegan-adegan berbahaya yang mungkin tidak diketahui oleh orang tua ataupun lingkungannya. Apalagi sekarang-sekarang ini sudah banyak peritiwa-peristiwa amoral sejenis perkosaan, berganti2 pasangan, atau dengan pacar sendiri misalnya, atas dasar suka sama suka. Alhasil, angka penyakit menular seksual dan HIV meningkat di mana-mana.
Saat semester akhir, saya mendapatkan kuliah tentang HIV, AIDS.
Sangat menarik, di samping cara kuliahnya teleconference, disiarkan secara Live di berbagai universitas seluruh Indonesia. Temanya pun sangat menarik. Di sini saya tidak akan menyampaikan review materi kuliah, Materinya baguss, dan menambah ilmu pengetahuan banget. Tapi saya hanya agak miris mendengar salah satu pernyataan waktu kuliah, bahwa untuk menghindari hubungan yang beresiko, bisa digunakan alat kontrasepsi seperti (maaf) kondom. Atau juga bisa dengan melakukan masturbasi.
Oke, saya mengerti, bahwa kebutuhan seks itu memang sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sejak kita bayi pun kita sudah melakukan aktivitas seksual. Tapi, apakah hal itu menjadi alasan diperbolehkannya hubungan seksual sebelum menikah? Apalagi sampai menganjurkan penggunaan kondom dan bermasturbasi.
Menurut saya, itu amat sangat kurang bijak. Dengan melakukan hal itu, mungkin kita akan terhindar dari penyakit HIV, AIDS, PMS, dan segalamacamnya. Tapi itu tidak akan membuat kita terhindar dari dosa. Karena mendekati zina pun dilarang agama, apalagi berzina…
Apalagi ini, free sex menggunakan kontrasepsi dan bermasturbasi… sesuatu yang tabu dan tersembunyi.
I think, it’s just… disgusting!
Mungkin tabu dibicarakan mengenai hal ini. Maaf juga kalau saya… di postingan kali ini menulis secara blak-blakan. Saya gerah dan geram dengan media komunikasi dan informasi, khususnya internet yang kadangkala menampilkan gambar-gambar tidak senonoh secara tiba-tiba, games pun udah aneh-aneh sekarang ini. Mikir jadinya, anak-anak zaman sekarang yang sering menggunakan internet apa jadinya kalau tanpa kontrol dari orang tua?
Tidak ingin munafik, saya pun mungkin tak sempurna bebas terlepas dari jerat dosa. Saya pun ingin dan sedang belajar. Kita semua insya Allah akan menjadi orang tua bagi anak-anak kita. Kalau emak bapaknya melakukan hal-hal tidak benar, gimana nasib anaknya nanti?
Lebih baik kalau kita sama-sama memperbaiki diri, ingat mati, ingat hidup hanya satu kali. Jangan terlena dengan kenikmatan sesaat. Jaga kesucian untuk orang yang benar-benar layak. Like your Fated Wife or Husband.
Jika sudah TKD (Teu Kuat Deui) yaa… nikahlah segera… Kalau udah nikah, mau salto, jungkir balik, atau ngapain aja terserah dah itu sih. Nah, kalau belum, puasa Daud, banyakin istighfar, sholat sunat, zikir, rajin beramal. Hindari berdua-duaan sama lawan jenis, hindari hal-hal berbau pornografi.
Lagipula aktivitas-aktivitas buruk seperti itu bisa membuat orang bodoh lho, dan banyak kerugian-kerugian lainnya.
Akhir kata, pokoknya buat kita semua….
Say No to Pornografi, Say No to Free Sex!
Oh, ya, satu lagi…
“Say No to Drugs and STOP KDRT!”

Tidak ada komentar:

Pasang Emoticon Anda!

Posting Komentar