}

Sabtu, 02 Maret 2013

apakah oral sex yang di lakukan istri berdosa?


Saya mempunyai pergumulan mengenai masalah tehnik hubungan suami istri secara oral yaitu di satu sisi suami merasa lebih senang dengan cara tersebut karena dia lebih bergairah dengan melihat istri orgasme dan juga dilakukan dengan istri sendiri, namun saya pribadi merasa tidak benar, sehingga kadang saya menghindari hubungan ini.
Namun disisi lain saya merasa tidak enak untuk menolak suami, karena selama inipun dia tidak pernah memaksa dan juga melakukan dengan lembut (dengan foreplay lebih dulu).
Saya mengakukan hal ini dalam beberapa sakramen tobat, dan berkonsultasi dengan pastur, mereka menjawab yang penting adalah dilakukan dg hubungan kasih antara anda berdua, soal tehnik tidak masalah asal menyenangkan berdua.
Namun sampai sekarang saya merasa tidak enak/berdosa dan telah membawanya dalam doa agar Tuhan Yesus membuka pengertian kami berdua, kalau seandainya Tuhan tidak berkenan, maka suami menjadi tercelik pikirannya dan apabila ini tidak menyebabkan dosa maka saya dapat melakukan tanpa merasa berdosa/bersalah.
Bagaimana saya harus bersikap dalam menunggu jawaban dari Tuhan, karena selama ini masih berlangsung, meski saya sudah mengutarakan kepada suami tentang yang saya rasakan, namun menurut dia seperti jawaban di atas ini dilakukan dg istri sendiri dan membuat dia lebih senang, sehingga saya menjadi serba sulit.
Terima kasih, mohon sarannya, Tuhan memberkati. – Loki

Jawaban:

Shalom Loki,
Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat terbuka, yang saya percaya banyak pasangan Katolik yang juga ingin mengetahui apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik dalam hal ini. Loki mempertanyakan apakah boleh pasangan suami-istri Katolik melakukan oral-sex.
I. Berikut ini adalah beberapa prinsip mengenai seksualitas:
1) Paus Paulus VI di dalam ensiklik “Humanae Vitae”, paragraf 12 dikatakan “This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, betweenthe unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.
Dari sini kita melihat bahwa ada dua elemen penting di dalam hubungan suami istri, yaitu: 1) Elemen persatuan (the unitive) dan 2) terbuka terhadap kelahiran (the procreative).
Hubungan suami istri adalah suatu hubungan yang sakral (conjugal chastity), dimana suami istri disatukan dalam suatu kasih yang begitu indah dan sakral. Sebagai contoh: bayi tabung dilarang, karena menghilangkan dimensi kesatuan antara suami dan istri (selain itu juga karena proses bayi tabung melibatkan aborsi)
Hubungan suami istri juga harus terbuka terhadap kelahiran (the procreative), karena ini adalah bukti bahwa suami-istri saling mengasihi dengan cara memberikan dirinya secara total dan utuh tanpa ada yang “disembunyikan/ dibuang“. Oleh karena itu, penggunaan kontrasepsi melanggar prinsip ini.
2) Sacred Congregarion for the Doctrine of the Faith di dalam “Persona Humana” – deklarasi tentang etika seksual, bab IX, mengatakan “The main reason is that, whatever the motive for acting this way, the deliberate use of the sexual faculty outside normal conjugal relations essentially contradicts the finality of the faculty. For it lacks the sexual relationship called for by the moral order, namely the relationship which realizes “the full sense of mutual self-giving and human procreation in the context of true love.
3) Secara prinsip, kasih dapat didefinisikan sebagai “eros” atau tertarik pada apa yang baik, dan “agape” atau mengharapkan yang baik terjadi pada orang yang kita kasihi. Dan ini hanya dapat dicapai dengan memberikan diri kita kepada orang yang kita kasihi. Dalam hubungan suami istri, saling memberi sebagai ungkapan kasih adalah menjadi elemen yang utama.
4) Tidak ada dokumen Gereja yang mengatur hubungan suami-istri sampai detail, namun Gereja memberikan prinsip “the unitive” dan “the procreative” sebagai dua hal yang harus terpenuhi dalam hubungan suami-istri.
II. Dengan dasar-dasar tersebut di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa:
1) Pada saat oral-sex dilakukan tanpa suatu hubungan suami istri yang sempurna/komplit, yang memungkinkan terjadinya suatu kelahiran, maka hal tersebut merupakan pelanggaran moral. Pada saat pihak suami, yang “memberikan benih” tidak memberikan benih kepada rahim sang istri, maka itu adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Namun pihak istri dapat mengalami orgasme sebelum atau setelah “hubungan yang normal” dilakukan, asal dalam konteks “complete conjugal act” atau hubungan suami-istri yang lengkap.
Maka, hubungan sex yang semata-mata hanya oral sex ataupun yang berakhir dengan cara oral-sex dan tidak membuka kesempatan untuk terjadinya kelahiran, sehingga ungkapan kasih yang total tidak terpenuhi- melanggar ketentuan kesatuan suami istri yang disyaratkan oleh Gereja dalam conjugal act.  Dalam kasus ini hubungan suami istri hanya dilihat sebagai pemuas nafsu belaka. Oleh karena itu, aspek “the unitive” juga dipertanyakan.
2) Namun kalau oral-sex dilakukan dalam konteks suatu “foreplay” yang menuju pada suatu hubungan yang sempurna, maka masih dapat dibenarkan secara moral. Hal ini disebabkan karena suami-istri saling memberi dan dilanjutkan dengan suatu hubungan yang terbuka terhadap kelahiran atau hubungan suami-istri yang komplit (complete conjugal act atau normal conjugal relation). Oleh sebab itu, dua aspek “the unitive” dan “the procreative” terpenuhi.
Namun hal ini hanya dapat dibenarkan kalau dua belah pihak (suami-istri) tidak berkeberatan untuk melakukannya. Pada saat salah satu pihak berkeberatan, maka prinsip untuk “self-giving” menjadi hilang dan diganti dengan rasa terpaksa. Untuk inilah pasangan suami istri perlu mendiskusikannya secara terbuka dan tidak boleh ada salah satu pihak yang memaksa atau terpaksa.
Demikian jawaban yang dapat saya sampaikan. Karena Gereja Katolik tidak pernah memberikan suatu pernyataan tentang hal ini secara mendetail, maka mungkin ada yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan apa yang saya paparkan.
Oleh karena hal ini adalah topik yang cukup sensitive, diskusikanlah dengan suami secara terbuka dan lemah lembut dengan dasar kasih. Diskusikan bahwa seorang istri dapat menerapkan nomor 1 dan 2, namun seorang suami hanya dapat menerapkan nomor 2. Dalam hal ini, mungkin cara tersebut masih dilakukan, namun sang suami tidak dapat mencapai ejakulasi di luar rahim sang istri. Bawalah dalam doa, dan bicarakan dengan suami pada saat yang tepat.
Saya mohon maaf, kalau ada kata-kata yang terdengar kasar karena keterbatasan saya dalam mengungkapkan konsep ini, namun hal ini diperlukan agar konsep moral dan teologis dapat dicapai. Semoga dapat berguna.

Tidak ada komentar:

Pasang Emoticon Anda!

Posting Komentar